Pagi ini, tiba-tiba aku teringat pada cerita pendek pertama yang kubuat. Tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2006. Iya, kurang lebih hampir 9 tahun yang lalu! Saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMP. Menulis sudah menjadi sahabatku dalam menumpahkan perasaan dan imajinasi yang kadang aneh dan entah dari mana ada dalam kepalaku. Sebelumnya, sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku pun suka sekali menulis cerita. Aku sering menitipkan hasil tulisan tanganku pada bapak setiap kali beliau akan berangkat kembali ke Jakarta, bekerja di sana. Iya, aku dan mama tetap tinggal di kampung kami sementara bapak bekerja dan pulang paling tidak setiap bulan sekali.
Baik, jadi cerita ini berawal saat aku membaca sebuah buku cerita yang ditulis oleh Gola Gong. Aku sudah lupa judulnya, hehehe. Aku suka dan kagum sekali pada cara beliau menceritakan suatu keadaan yang ada dalam pikirannya, hingga memberi gambaran jelas pada pembaca, seperti sedang mengalami keadaan yang sama, bersama penulis atau bahkan merasa sebagai penulis itu sendiri, yang mengalami cerita.
Saat itu pukul dua siang. Aku baru pulang dari sekolah, dan berniat melanjutkan membaca. Aku meminjam buku itu dari perpustakaan sekolah pada jam istirahat kedua. Selesai dengan beberapa judul cerita, aku benar-benar mulai membayangkan sesuatu. Aku sungguh ingin menulisnya. Kemudian, aku teringat sebelumnya bahwa aku pernah menonton sebuah film cerita ilmiah tentang ruang angkasa dan alien. Maka jadilah, imajinasi pun menari-nari dalam pikiranku : suasana pantai, bertemu alien, seorang gadis manis yang kesepian dan pemuda tampan yang misterius. Sempurna.
Di kamarku dengan berukuran 2,5m x 2,5m itu, dengan cahaya matahari memulai sore yang menembus jendela kamar, aku memulai cerita pertamaku, di mana aku meninggalkan tema anak-anak dan mulai merambah pada dunia remaja. Asmara :)
Inilah hasilnya (tulisan asli tanganku di lembaran kertas folio yang aku klip rapi, kusimpan selama hampir 9 tahun ini dengan baik) :
Pada tahun 2009, ada lomba menulis cerpen yang begitu menarik bagiku. aku pun mencoba mengirimkan Bintang Biru di Bawah Purama, karena temanya sesuai : Remaja. Sayang, cerpenku tidak lolos. hehehe.
kemudian pada tahun 2013, ada lomba serupa. Aku kali ini mencoba lagi peruntunganku, namun aku mengedit ceritaku, terutama pada bagian pertemuan kedua tokoh utama. Aku tidak mengubah banyak bahasa ceritaku karena entah bagaimana, aku cukup puas dengan bahasa cerita itu, padahal saat menulisnya aku masih anak SMP, masih bau kencur tentang dunia menulis cerita, dan itu pun baru belajar. Otodidak.
Tapi sayang, lagi-lagi naskahku tidak mendapat apa-apa. Mungkin ceritaku terlalu mengada-ada. Mungkin imajinasi ini terlalu tidak mungkin, bahkan pada akhirnya aku tahu bahwa tidak ada makna dan amanat moral yang aku selipkan pada cerita itu! Iya, akhirnya kusadari bahwa Bintang Biru di Bawah Purnama benar-benar sekedar cerita, imajinasi, melawan logika dan tentu tidak benar. Sungguh, ini hanya sebuah cerita, hasil imajinasi seorang anak SMP yang keranjingan menulis isi otak kecilnya. hihihi.
Jadi, suatu hikmah yang kemudian aku eja adalah bahwa... Sebaiknya, apa yang kutulis itu memiliki makna. Sayangnya, selama hampir bertahun-tahun hingga aku duduk di bangku SMA, aku masih suka menulis cerita yang muncul dari imajinasiku. Hanya cerita. Tapi aku menyukainya. Ada kepuasan tersendiri saat menumpahkan isi kepala. Dan ada kesenangan lain, yaitu saat beberapa teman yang kuminta membaca ceritaku, mereka cukup terhibur, kagum, dan ada yang mengatakan bahkan tidak terpikirkan sampai apa yang aku imajinasikan! hehehe...
Jadi itulah tulisanku dulu : hanya cerita, penghibur semata.
Inilah hasil editan Bintang Biru di Bawah Purnamaku. Selamat membaca, semoga terhibur :)
Baik, jadi cerita ini berawal saat aku membaca sebuah buku cerita yang ditulis oleh Gola Gong. Aku sudah lupa judulnya, hehehe. Aku suka dan kagum sekali pada cara beliau menceritakan suatu keadaan yang ada dalam pikirannya, hingga memberi gambaran jelas pada pembaca, seperti sedang mengalami keadaan yang sama, bersama penulis atau bahkan merasa sebagai penulis itu sendiri, yang mengalami cerita.
Saat itu pukul dua siang. Aku baru pulang dari sekolah, dan berniat melanjutkan membaca. Aku meminjam buku itu dari perpustakaan sekolah pada jam istirahat kedua. Selesai dengan beberapa judul cerita, aku benar-benar mulai membayangkan sesuatu. Aku sungguh ingin menulisnya. Kemudian, aku teringat sebelumnya bahwa aku pernah menonton sebuah film cerita ilmiah tentang ruang angkasa dan alien. Maka jadilah, imajinasi pun menari-nari dalam pikiranku : suasana pantai, bertemu alien, seorang gadis manis yang kesepian dan pemuda tampan yang misterius. Sempurna.
Di kamarku dengan berukuran 2,5m x 2,5m itu, dengan cahaya matahari memulai sore yang menembus jendela kamar, aku memulai cerita pertamaku, di mana aku meninggalkan tema anak-anak dan mulai merambah pada dunia remaja. Asmara :)
Inilah hasilnya (tulisan asli tanganku di lembaran kertas folio yang aku klip rapi, kusimpan selama hampir 9 tahun ini dengan baik) :
Pada tahun 2009, ada lomba menulis cerpen yang begitu menarik bagiku. aku pun mencoba mengirimkan Bintang Biru di Bawah Purama, karena temanya sesuai : Remaja. Sayang, cerpenku tidak lolos. hehehe.
kemudian pada tahun 2013, ada lomba serupa. Aku kali ini mencoba lagi peruntunganku, namun aku mengedit ceritaku, terutama pada bagian pertemuan kedua tokoh utama. Aku tidak mengubah banyak bahasa ceritaku karena entah bagaimana, aku cukup puas dengan bahasa cerita itu, padahal saat menulisnya aku masih anak SMP, masih bau kencur tentang dunia menulis cerita, dan itu pun baru belajar. Otodidak.
Tapi sayang, lagi-lagi naskahku tidak mendapat apa-apa. Mungkin ceritaku terlalu mengada-ada. Mungkin imajinasi ini terlalu tidak mungkin, bahkan pada akhirnya aku tahu bahwa tidak ada makna dan amanat moral yang aku selipkan pada cerita itu! Iya, akhirnya kusadari bahwa Bintang Biru di Bawah Purnama benar-benar sekedar cerita, imajinasi, melawan logika dan tentu tidak benar. Sungguh, ini hanya sebuah cerita, hasil imajinasi seorang anak SMP yang keranjingan menulis isi otak kecilnya. hihihi.
Jadi, suatu hikmah yang kemudian aku eja adalah bahwa... Sebaiknya, apa yang kutulis itu memiliki makna. Sayangnya, selama hampir bertahun-tahun hingga aku duduk di bangku SMA, aku masih suka menulis cerita yang muncul dari imajinasiku. Hanya cerita. Tapi aku menyukainya. Ada kepuasan tersendiri saat menumpahkan isi kepala. Dan ada kesenangan lain, yaitu saat beberapa teman yang kuminta membaca ceritaku, mereka cukup terhibur, kagum, dan ada yang mengatakan bahkan tidak terpikirkan sampai apa yang aku imajinasikan! hehehe...
Jadi itulah tulisanku dulu : hanya cerita, penghibur semata.
Inilah hasil editan Bintang Biru di Bawah Purnamaku. Selamat membaca, semoga terhibur :)
Bintang Biru di Bawah Purnama
Saat ini, aku sedang memandang lepas ke
lautan, menatap horizon yang siap menelan habis sang mentari. Sendiri di sudut
teluk, terpisah oleh serumpun karang, dari keramaian kampung nelayan dan
sampan-sampan. Sore hari diiringi nyanyian pantai dari camar-camar yang
beterbangan di atas sana, dan dihiasi perahu-perahu nelayan yang mulai lepas
dari sandaran. Ditemani hamparan pasir tempatku berdiri, masih kupandangi
indahnya cakrawala senja. Kubiarkan ombak membelai kakiku. Langit barat yang
bagai layar raksasa mulai berwarna jingga, kuning, biru dan abu-abu. Senja hari
akan berganti malam. Kunikmati desir angin sore yang membelai rambutku, dan
deburan ombak yang berirama syahdu.
Rona jingga bersemu merah dan kemudian
berganti biru kelam. Bulan naik tahta, setelah mentari benar-benar tumbang
dilahap kaki langit, hanya pancaran sinarnya yang mencoba berteriak, menembus
garis horison, mengharap uluran tangan awan. Aku menghela napas panjang. Sambil
menunggu datangnya ribuan bintang yang akan menemani bulan, kupejamkan mata,
kemudian terbang, terjun dan menyelam kembali ke samudera sebuah kenangan.
Kenangan tentang indahnya langit petang hari di pantai ini, tiga tahun silam.
Saat itu, aku menatap sinar kebiruan sebuah bintang di ufuk barat. Sebuah
bintang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia seolah menatapku kembali dari
bawah bulan yang anggun purnama sempurna.
***
Ketika masih kagum memandangi bintang
yang bersinar kebiruan itu, sebuah benda angkasa bercahaya melesat cepat seolah
dari bintang biru itu ke arah selatan. Mataku terpukau dan mengejar arah lari
benda itu. Bintang jatuh. Tapi, bintang jatuh pada senja hari adalah hal yang
tidak biasa di teluk ini. Biasanya, bintang berjatuhan saat menjelang tengah
malam hingga dini hari. Lalu benda angkasa bercahaya yang melesat itu pun
hilang ditelan horizon.
Aku kembali memandang laut lepas,
kembali menikmati suasana pantai petang hari. Lalu tiba-tiba kulihat air di
hadapanku surut. Jauh, seperti terhisap kekuatan yang besar. Kemudian, aku
merasakan bahwa hamparan pasir mulai bergetar. Aku diserang rasa takut yang
mulai merambat dan memuncak seiring suara gemuruh ombak yang tiba-tiba
bergulung riuh meraksasa dari arah lautan. Aku berlari menuju perkampungan,
seperti para nelayan yang tadi bercengkrama di atas pantai bersama sampan dan
jala mereka.
***
Aku membuka mata. Langit telah hitam,
sunset sudah usai. Tapi aku masih ingin mencurahkan rindu pada teluk ini. Sebab,
aku tak tahu lagi kapan bisa menikmati indahnya sunset di sini. Sunset saat
langkah-langkahnya di hamparan pasir tak terhapus ombak mengalun. Saat suaranya
sehalus irama ombak menyanyikan lagu pesisir, dan tatapan matanya menyinar sesejuk
cahaya purnama di malam kelam. Di atas sana, bulan sabit, bukan purnama. Maka,
harapanku pupus untuk menemukan bintang biru itu. Aku redam kembali kerinduan
yang merajam hati. Tentang irama langkah ombak, dan sejuk tatapan purnama. Ngilu
menusuk palung hati.
***
Sejenak setelah peristiwa itu, Semuanya
terasa seperti biasa lagi. Ketika media dan para ahli hiruk pikuk memberitakan
isu-isu dan berbagai dugaan penyebab peristiwa tempo hari yang tidak kupahami,
aku lebih memilih hiruk pikuk bersama paman dan bibi serta nelayan lainnya di
pantai, bercanda dengan jala dan sampan, mencuci ikan hasil tangkapan kami. Kami
kembali pada rutinitas harian kami. Para nelayan sesepuh pun yakin, apapun yang
terjadi tempo hari tak akan berbahaya. Hanya ‘kunjungan’, demikian kata mereka.
Seperti biasanya setiap malam, aku
kembali duduk di hamparan pasir yang agak jauh dari keramaian pantai ini.
Menyendiri di sudut teluk, menikmati lagu pantai. Aku bercerita kepada laut,
aku berbagi pada langit. Aku yakin mereka bisa menyimpan kisah manusia sampai
kapanpun dalam biru kelam mereka saat malam. Sebaik mereka menyimpan
rahasia-rahasia mereka dalam keabadian diam. Dan bintang-gemintang menjadi
saksi bahwa bulan menyimak kisah hidup dalam bijak sinarnya yang terang indah
dan mendamaikan.
Aku terpejam, saat sekali lagi angin
bertiup memainkan rambut panjangku. Debur ombak menggoda hamparan pasir yang
berlari ke tepian, namun kemudian seolah mengejar ombak saat ia mengundurkan
diri kembali ke peluk lautan. Aku hirup napas laut, aku hisap udara pantai.
Dan saat aku membuka mata.....
Sesuatu tergeletak di hamparan pasir tak
jauh dari hadapanku. Tubuh. Tertelungkup, wajahnya tergolek ke samping. Tak
bergerak. Mungkin dia adalah korban peristiwa kemarin malam. Aku berlari
mendekatinya, berusaha melihat keadaannya, melihat secara dekat apakah masih ada
tanda-tanda kehidupan.
Wajahnya yang basah tampak pucat seperti
mendungnya langit pagi hari, alisnya tebal hitam, hidungnya tinggi, bibirnya terkatup
keunguan, kedinginan. Lalu kulihat rambutnya yang hitam legam. Pakaiannya yang
keperakan menutup seluruh tubuh, dari pergelangan tangan, hingga mata kaki.
Tangannya memakai sarung dan kakinya bersepatu. Arloji di pergelangan tangannya
memiliki lampu kecil yang berkelip-kelip cahaya biru. Aku tak melihat sobekan pada
pakaian atau luka pada wajah dan kepalanya. Tapi aku tak bisa menjamin tak ada
lebam di tubuhnya. Mungkin ada.
Aku segera menariknya ke hamparan pasir
yang lebih tepi, lalu berusaha lagi mencari tanda-tanda kehidupan padanya.
Napasnya, detak jantungnya, denyut nadinya, tak ada. Tapi bagaimana pun, aku
harus segera menuju keramaian pantai untuk meminta bantuan, mungkin orang ini
masih bisa diselamatkan.
Namun, saat aku kembali bersama
orang-orang, tubuh itu sudah tak ada! Keriuhan mulai mengalahkan debur pantai.
Malam termenung tak mengerti seperti aku yang tak bisa menjelaskan ke mana
sosok tubuh itu pergi. Beberapa nelayan mencebur ke air untuk mencari,
kemungkinan tubuh itu kembali ditarik ombak. Beberapa yang lain menyusuri hamparan
pasir, ada pula yang mengambil perahunya dan menyisir sepanjang garis pantai.
Tapi tak ada hasil. Aku bingung. Aku telah menariknya ke hamparan pasir yang
cukup jauh dari garis ombak. Tidak mungkin dia ditarik ombak lagi. Tak ada
jejak ombak di sini. Ke mana dia?
Beberapa orang mulai mengira aku
berhalusinasi. Karena ayahku pun ditemukan dengan cara yang sama, terdampar dan
tertelungkup tak bernyawa setelah tiga hari tak kembali dari melaut. Dan aku
telah menerima semua itu sebagai peraturan laut dalam menjalankan takdirnya.
Aku mengerti dan aku menerima. Aku pun berterima kasih pada ombak yang setidaknya
mengantar tubuh ayah kembali.
Masih dalam penasaranku yang belum
terobati, aku berdiri menatap laut petang hari esoknya, di titik hamparan pasir
aku meninggalkan pemuda itu kemarin. Menatapnya lekat. Berpikir dan menerka. Aku
bertanya pada ombak, apakah ia membawa pemuda itu lagi. Aku bertanya pada laut,
pada angin. Dan pada bintang biru di bawah purnama yang sudah beberapa hari ini
muncul, menyita kekaguman orang sekampung akan kemunculan dan pesonanya yang belum pernah ada sebelumnya.
Sesuatu mengusik perasaanku, seperti
desir angin yang mendekat dan aku menoleh, lalu terkejut. Pemuda itu! Aku
tergagap dan terbelalak saat melihatnya lagi! Secara ajaib entah kapan dimulai,
ia telah berdiri tak jauh dariku, sedang menatapku! Dia masih mengenakan
pakaian yang kemarin aku lihat. Tapi kini matanya terbuka. Menatap setajam
purnama, tapi sejuk sinarnya terang, mendamaikan. Dia mendekat, aku tercekat.
***
Itulah awal pertemuanku dengan Gallaz,
nama pemuda itu.
Suaranya seirama debur ombak yang tegas
nan lembut dalam satu waktu bersama. Napasnya adalah sejuk angin darat di
pantai malam. Ketenangan sikapnya bagai tenangnya samudera menyimpan sejuta
rahasia kisah. Senyumnya adalah kelembutan mentari senja di antara kelam
samudera. Dengan lesung pipi yang menjadi palung kedamaian di wajahnya, sinar
matanya adalah cahaya purnama, dan bola matanya... adalah bintang biru di bawah
purnama.
***
Malam-malam selanjutnya, Gallaz selalu menemui
aku di sudut teluk dengan hamparan pasir putih ini. Dia tidak akan ada pada
siang hari. Dia pergi, bertugas dan mencari teman-temannya. Apalah itu, aku tak
mengerti.
Berbagai cerita, canda dan tawa berurai
seluas hamparan laut tanpa batas. Mengalun kisah kebersamaan, terayun damai
atau beriak bergejolak seperti ombak menggoda hamparan pasir. Aku merasa nyaman
di dekatnya setiap malam. Aku tak lagi sendirian menikmati pantai petang hari
hingga tengah malam menjelang. Aku tak lagi sekadar menghitung bintang
gemintang, karena Gallaz menyusunkan rasi-rasi indah di langit malam. Deburan
ombak tak lagi hanya irama, namun menjadi lagu semesta samudera. Angin
bernyanyi, mengirim pesan dan salam sejuta rasa.
Waktu-waktu yang kulalui bersamanya
menjadi kisah hamparan pasir dan debur ombak, disaksikan bintang-gemintang,
disimak bulan, dan disebar oleh angin darat ke lautan antah berantah, untuk
disimpan. Disimpan rapat dalam palung keabadian kisah samudera...
“Jangan, jangan ceritakan keberadaanku
pada orang-orang di sini, Tika,”
“Mengapa?”
“Mereka tak boleh tahu. Dan andai pun
mereka tahu, mereka tak akan mengerti,”
Aku mengerutkan kening, tak mengerti.
“Aku tak mengerti, Gallaz,”
“Cukup kamu saja yang tahu, karena kamu
yang terlanjur pertama kali menemukanku. Aku terdampar, Tika. Aku sedang
menuggu kabar teman-temanku yang lain karena kami tercerai-berai setelah
kecelakaan pendaratan yang kami alami.”
“Lalu kamu akan pergi setelah kamu
menemukan mereka?”
“Tentu saja. Kami dikirim ke sini untuk
bertugas. Jika tugas selesai, maka kami akan ditarik kembali.”
Aku terdiam. Aku memang tahu, dia selalu
mengatakan bahwa dia terdampar. Tapi mendengar dan mengetahui bahwa dia akan
pergi, aku merasa sedih dan takut kehilangan... Aku seperti hamparan pasir yang
disentuh ombak. Berlarian dan bercanda sejenak, tapi saat ombak harus ditarik
kembali ke lautan, aku berlari balik mengejarnya, seolah ingin dibawa serta,
tak ingin ditinggalkan begitu saja...
Malam berikutnya, Gallaz menemuiku dengan
wajah yang tidak secerah biasanya. Ada yang membebaninya. Dia seperti ingin
mengatakan sesuatu, tetapi ia ragu bagaimana mengatakannya. Dia menatapku,
seperti sinar purnama yang kini muncul dan menjadi perpaduan indah bersama
bintang biru itu. Telah satu masa purnama berlalu, dan bintang itu selalu berada
di titik langit yang sama. Kini, saat purnama, ia seolah menggantung manis di
bawah purnama.
Pada saat yang sama, aku melihat wajah
Gallaz pias. Bimbang. Dia berpikir untuk beberapa saat, menatapku dalam, lalu
tiba-tiba lengannya merengkuhku. Aku seperti lautan kesedihan dipeluk malam.
Aku pun memeluknya erat. Dan entah bagaimana, aku merasakan gelombang yang
selama ini terpendam.
“Aku tak seharusnya menemuimu lagi malam
itu, Tika... Sungguh. Ini kesalahan yang menyeret kita berdua pada perasaan
seperti lautan dan langit. Biru bersama saat siang, hitam berdua saat malam.
Membadai bersama, tenang damai berdua. Tapi... langit tak akan pernah bersatu
dengan lautan, Tika... tidak bisa... maafkan aku...”
Aku mulai mengerti arah pembicaraan
ini...
“Teman-temanku sudah berkumpul, bahkan
beberapa sudah datang menemuiku untuk menjemput. Sudah satu purnama berlalu, dan
aku kehabisan alasan untuk bertahan di sini lebih lama lagi. Lagi pula, tempat
ini mulai tidak aman untukku. Tugasku juga sudah selesai. Aku harus kembali sesuai
perintah. Aku harus pergi...”
Aku terisak. Teluk ini menjadi terasa
sesak, deburan ombak menjadi riak-riak yang serak. Angin berderak menerjang,
menghantam relung-relung hati yang retak. Pecah, berhamburan...Dan aku tak bisa
berkata apa-apa...
“Tika,
kamu lihat itu?” Kata Gallaz mengendurkan pelukan, lalu menunjuk bintang biru di bawah purnama. Aku
melihat ke arah yang ditunjuknya.
“Kalau suatu saat nanti kamu lihat
bintang itu lagi, bintang biru di bawah purnama, pejamkan matamu dan bisikkan
namaku. Aku akan datang menemui kamu di sini. Maaf, aku tidak bisa ceritakan
semua yang sebenanya. Aku dan teman-temanku bersembunyi dari kalian...”
“Aku tidak mengerti...” aku berharap
memiliki waktu lebih banyak dari ini untuk selalu bersamanya.
“Dan satu lagi. Aku baru menemukan
sebuah kalimat yang bisa mewakili apa yang aku rasa selama ini...” Gallaz tetap
melanjutkan kalimatnya, seolah terburu-buru...
“Gallaz....” potongku, namun Gallaz
menatapku tajam.
Kami pun bertatapan. Arlojinya berkelip-kelip.
Gallaz tahu itu, tapi seolah tak peduli. Perlahan, dia mendekatkan wajahnya ke
wajahku. Aku menutup mata. Dadaku berdebar. Saat kurasa sesuatu yang begitu
dekat di wajahku, lalu kudengar suara Gallaz yang bagai ketegasan dan
kelembutan ombak pada saat yang bersamaan.
“Aku sayang kamu, Tika...”
Gallaz berjalan menjauh saat aku membuka
mata. Lalu cahaya biru menyilaukan berpancar dari atas lautan dan menyinari
Gallaz.
Ia menatapku lekat. Tatapan yang seperti
purnama dengan cahayanya yang menyejukkan. Tapi aku melihat ada awan mendung
pada purnama itu. Perlahan dengan tak kumengerti, sosok Gallaz memudar. Semakin
memudar bersama pendar biru cahaya itu.
Tidak! Aku tidak bisa! Aku tidak ingin
Gallaz pergi!
Dan saat aku berlari hendak memeluknya
lagi, seperti hamparan pasir mengejar ombak yang surut... Gallaz telah lenyap dengan
ajaib seperti diserap cahaya biru itu, lalu hilang. Pesisir kembali kelam.
Debur ombak surut terbawa arus. Hanya
hamparan pasir sunyi tertinggal, angin berdesir dan mengencang, serta bintang
yang menjadi saksi... Purnama terdiam menyimak, pandangan bijaknya menyinar
samudera yang perlahan menyimpan kisah semestaku dalam palung kedamaian...
Aku bersimpuh, luruh. Saat air laut surut
jauh. Hamparan pasir bergetar, aku tetap terpaku. Menatap kilau bintang biru di
bawah purnama yang mulai meredup, lalu dengan cepat lenyap entah ke mana...
Kemudian gulungan ombak besar
mendekatiku, tapi aku membeku. Kemudian, semua menjadi gelap saat air raksasa
itu menerjangku. Aku sebutir pasir yang melayang diayun gelombang, terseret
ombak, ingin ikut ke mana pun perjalanan arus laut...
***
Lamunanku pecah oleh panggilan halus
bibi.
“Tika, masih mau menikmati pantai? Ini
sudah malam, kan kamu harus ke Jakarta besok pagi,” katanya dengan sifat
keibuannya.
Aku menoleh, “Ya, Bi. Maaf, Tika
keasyikan. Hehehe...” jawabku dengan senyuman, lalu bangkit dan memeluk wanita
yang telah merawatku bertahun-tahun itu.
Tiba-tiba, terlintas indahnya gemerlap
Jakarta. Ya, sebuah perusahaan telah menerimaku sebagai pegawainya, dan aku harus berangkat besok pagi, mulai bekerja.
Aku akan meninggalkan teluk ini, dan tinggal di kota metropolitan. Entah kapan
aku akan kembali. Satu purnama, dua purnama... Entahlah... Aku tak tahu berapa purnama
yang akan kulewati, tak bisa aku nikmati di teluk ini. Aku tidak tahu pula,
kapan purnama bersinar dan bintang biru itu muncul. Selama tiga tahun
belakangan ini, saat tiba waktu purnama
bersinar, ia menatap bijak dan meminta maaf karena tak bersama bintang biru
yang aku tunggu.
Lalu, aku dan bibi berjalan beriringan
sambil bergandengan tangan. Aku berhenti sejenak, menoleh lagi ke langit barat
yang berada tepat di depan teluk. Bibi tahu, aku tak ingin berpisah dengan
langit itu dan pantai ini. Deburan ombaknya, desir anginnya, sunsetnya,
bulannya, bintnag-bintangnya, suasana purnamanya.
“Bibi tahu, kamu akan sangat merindukan
teluk ini, Sayang. Maka sering-seringlah pulang ya?” kata bibi sambil membelai
rambutku.
Aku tersenyum padanya, “Dan Tika akan
selalu merindukan belaian bibi, selalu,” lalu kami berjalan lagi. Aku
menggenggam erat tangan bibi.
Ombak berdebur menggoda hamparan pasir,
angin mengalun membawa kabar daratan. Kisahku disimak bintang, dan disimpan dalam
samudera malam...
Suatu petang nanti, jika kau duduk pada hamparan
pasir di sudut teluk ini saat purnama bersinar, dan tampak olehmu bintang biru
di bawah purnama, maka pejamkan matamu dan panggillah Gallaz.
Jika saat kamu membuka mata, kamu
menemukan seorang pemuda yang suaranya seirama debur ombak yang tegas dan
lembut dalam waktu bersamaan, napasnya adalah sejuk angin darat di pantai malam,
ketenangan sikapnya bagai tenangnya laut menyimpan sejuta rahasia kisah,
senyumnya adalah kelembutan sunset senja di antara kelam samudera, dengan
lesung pipi yang menjadi palung kedamaian di wajahnya, sinar matanya adalah
cahaya purnama, dan bola matanya... adalah bintang biru di bawah purnama. Dan
tentu saja, dengan pakaian keperakan dan arloji berkelap-kelip biru itu.
Maka, dia adalah Gallaz. Tolong katakan
padanya bahwa aku, Kartika, masih menyayanginya. Aku masih menunggu
kehadirannya, dan aku sangat merindukannya. Kemudian, kirimlah surat atau apa
pun untuk memberi tahuku, bahwa Gallaz telah datang...